Meneropong wakil Rakyat dambaan rakyat

Melihat kenyataan situasi politik yang berkembang saat ini terkait pemilu 2009 banyak hal menarik menjadi perhatian masyarakat, beberapa diantaranya mengenai fenomena politisi yang “lompat pagar”, kiprah parpol yang dinilai lebih pragmatis dan oportunis, nepotisme parpol, politisi selebriti dsb. Namun apapun bentuk fenomena politik tersebut dapat dipolarisasikan masyarakat yang menilai situasi yang berkembang tersebut pesimis dan optimis yang melihat demokrasi yang bersemai dan bergulir merupakan demokrasi prosedural daripada demokrasi subtansial dan tentu memiliki argumenya masing-masing.

Dalam mengenali para calon legislatif yang akan berperang di arena pemilu 2009 terlihat jelas banyak para calon-calon menghilangkan nilai-nilai proses kaderisasi dalam memantapkan dan menguatkan consept, kredibel, kompatibel kualitas diri yang berdasar nurani kepemimpinan yang ditauladani. Figur-figur yang ada terkesan tidak mengukur diri, tidak sabar, tidak menghargai proses, mau serba cepat, cepat kaya, cepat sukses dengan mengabaikan modal sosial, malah sebaliknya bermodal materi yang diandalkan. Hal inilah yang mengabaikan nilai-nilai yang telah ada di masyarakat. Wabah fenomena calon wakil rakyat ini berimplikasi nantinya pada apa yang harus dilakukan setelah menjadi legislatif, ujung-ujungnya berjuang untuk kepentingan kelompok.

Saat ini yang menjadi pelajaran dalam mengukur figur-figur wakil rakyat dapat dilihat dari pendekatan institusi dan kinerja. Gilbert Abcarian menyatakan “ setiap rezim berhak membuat kebijakan apapun atas nama negara, tetapi satu hal tidak boleh menghilangkan kepercayaan rakyat “. Bahkan hal ini dimaksudkan utuk menyatakan bahwa “ mulai hari ini tidak boleh ada lagi rakyat yang tidak bisa tidur karena ketakutan dan kelaparan karena rakyat adalah satu-satunya pemilik kedaulatan. Kesemuanya itu mesti berujung pada kepentingan rakyat, political representasion, good governance, good asset dan good goverment. Kita perlu mengubah wajah demokrasi yang dikenal “ dari deal, deal and deal”. Jangan pula kita terjebak pada polical market namun lebih kepada secara karakteristik (rekam jejak) dalam memilih pemimpin.

Walau bagaimanapun fenomena politik yang berkembang menyongsong pemilu 2009 jalan terbaik adalah tetap optimis. Undang-undang politik 2008 merupakan Das sollen dari partai politik, pasal 9 (1) asas partai poltik tidak bertentangan dengan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pasal 10 (1). Partai politik memiliki tanggung jawab dalam suksesi politik dalam hal ini memilih dan mendudukkan wakil-wakil rakyat di DPR/ DPRD. Parpol selaku “mesin politik” (infrastruktur politik ) yang memiliki peran serta fungsi baik perekrutan calon politisi, melakukan pendidikan politik agar masyarakat melek politik, aksistensi visi misi parpol serta tanggung jawab penuh terhadap eksistensi bangsa guna mencapai kehidupan bangsa yang sejahtera.

Kenyataan ini tentu mengecewakan masyarakat, aksi politisi yang “lompat pagar”, parpol yang lebih pragmatis dan oportunis. Kaderisasi partai yang kuat seharusnya memiliki calon-calon yang handal dan dapat dipertanggung jawabkan untuk dihantar ke parlemen. Namun sangat disayangkan kaderisasi parpol tidak terbentuk dengan baik. Perekrutan calon politisi dari kalangan bukan dari proses kaderisasi parpol, misal selebritis memang bukanlah hal yang buruk. Tapi jika perekrutannya (dipinang oleh partai) menjelang penyelenggaraan pemilu jelas hasilnya politisi instan (setengah matang). Mungkin banyak orang tidak sependapat dengan hal ini karena setiap orang punya hak politik, sikap dan perilaku bisa dipelajari. Namun yang perlu dipertanyakan apakah calon politisi instan betul-betul mengerti dan memahami visi misi partai serta sanggup mengartikulasi berbagai kepentingan secara bijak bila sudah duduk di parlemen, mewujudkan cita-cita partai dan cita-cita bangsa?.

Sjamsoe’oed Sadjad, seorang Guru Besar Emeritus IPB mengistilahkan tentang “calon politisi ibarat benih”. Benih yang baik merupakan benih pilihan, dirawat dengan baik bahkan dipantau perkembangan secara jujur, dipersiapkan dengan penuh tanggung jawab serta dengan pengawasan pihak-pihak yang kompeten. Sebaliknya benih politik yang dipersiapkan untuk mengejar popularitas berorientasi kekuasaan, berobral janji dan bisa berpindah-pindah partai. Benih politik yang seperti ini tumbuh dan berkembang tidak ada pengawasan dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab penuh. Singkatnya tak ada tanggung jawab, sangat disayangkan. Kehidupan politik dan pelaku-pelaku politik diharapkan dapat berkarya dengan hasil karya yang optimal berorientasi ke masa depan tidak untuk sebatas kepentingan sesaat dengan semangat primordial yang sempit. Oleh karena itu dibutuhkan langkah- langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek pencapaian rasonalisasi vote. Artinya setiap elemen masyarakat memang sudah selayaknya mengejar langkah-langkah pencerdasan para pemilih, untuk dapat obyektif dan rasional memilih para calon-calon wakil mereka yang memang benar-benar sesuai dengan dambaan mereka. Hal inipun dapat dikenali dan ditemuan dari proses menggali jejak para calon wakil rakyat, jangan terjebak pada keuntungan sesaat, memantau dan mengevaluasi proses berjalannya setiap perangkat demokrasi, dan sadar dalam rasionalitas memilih sebagai warga negara. Pada akhirnya para calon wakil rakyat pada akhirnya akan kita pertanyakan, sanggupkah mereka memulai mewujudkan visi parpolnya dan memposisikan diri lalu berperan layaknya “ wakil umat wakil bangsa “ pada tempat yang harmonis dan bukan oportunis.

Komentar